Aroma Karsa

Week end kali ini terasa panjang. Diawali dengan menyelesaikan kerjaan rumah dan mengerjakan PR. Capek juga buat PR, sehingga memutuskan untuk membaca novel Aroma Karsa karya Dewi Lestari. Ini bukan novel baru. Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang ke rumah orang tua, aku melihat novel tersebut dan berniat membacanya. Karena banyak kesibukan, novel itu terlupakan. Novelnya sendiri ukurannya cukup tebal dan meyakinkan. Hanya saja sampulnya tidak terlalu provokatif untuk mengajak orang membacanya.

Aku coba membacanya pelan-pelan, ternyata seru. Jadi betah lama-lama duduk membaca novel itu. Alurnya susah ditebak, tapi aku juga gak pengin langsung ke bagian terakhir. Aku merasa betah menikmati detil-detil setiap paragraf novel tersebut. Banyak hal-hal baru dan istilah baru, terutama di bidang aroma yang baru kukenal. Ceritanya rumit sekali. Ada aspek sejarah, industri parfum, ambisi yang diperjuangkan secara terencana dan membabi buta, cinta, Bandar Gebang, Sentul. Sebagaimana novel-novel Dewi Lestari lainnya, di novel kali ini, Dewi juga menampilkan cerita-cerita dunia lain, yang membuat kita penasaran, tapi jauh dari kesan horor. Weekend yang berkesan.

Bandung, kotaku kini

Gak menyangka kalau aku masih betah di Bandung. Tadinya menyangka, akan merasa bosan di sini seperti saat kos saat pelatihan bahasa beberapa tahun yang lalu. Ternyata membawa keluarga pindah ke sini, menyewa rumah, bukan kos, yang spacenya lebih besar, peralatan lebih lengkap, membuat kita merasa at home juga. Kebetulan kami menyewa rumah di kawasan pemukiman biasa, di daerah yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Jadi merasakan suasana yang berbeda dan tidak membosankan. Berikut perbandingan antara Bandung dan Batam.
1. Di Bandung, harga bahan makanan lebih murah terutama lauk-pauk, sayuran, dan buah-buahan. Harga makanan matang juga jauh lebih murah di sini. Efeknya pengeluaran berjalan lebih lambat dibanding di Batam.

2. Di Bandung orangnya ramah dan baik hati. Ceritanya siang itu, kami habis belanja terus ngebakso. Saat mau pulang menuju parkiran, tiba-tiba terasa dompet di sakuku hilang. Jantungku langsung deg gitu. Tiba-tiba ada seorang cowok memanggil aku sambil nyerahin dompetku. Katanya tadi dompetnya jatuh. Alhamdulilah…

3. Di Bandung makanannya enak-enak dan banyak banget yang jualan. Sepanjang jalan yang biasa kulalui saat mengantar anak sekolah, dijumpai banyak sekali orang jualan, ada bakso, siomay, martabak, Thai tea, chocolate changer, jus, gorengan, es krim cincau, salad buah, ayam goreng, dll. Untung aku tahu diri, kebanyakan jajan ntar kebanyakan mengkonsumsi karbo dan juga banyak pengeluaran. Sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit. Kami biasa beli buah-buahan yang sedang musim di warung sebelah.

4. Di Bandung dda tukang jualan sayur dan lauk mentah. Yang ini jadwalnya sudah fix juga, sekitar jam 06.30 s.d. jam 07.00. Jadi kalau mau ngapelin si bapak tukang sayur, jangan bangun kesiangan. Di Batam juga ada tukang sayur, tapi karena tempat tinggal kami tidak dilewati tukang sayur, kami biasanya nyetok sayur dan ikan di kulkas. Sebagai temporary resident, kami tidak terlalu membutuhkan kulkas.

5. Di Bandung jarang menjumpai orang jualan ikan segar di pasar, beda dengan di Batam, yang banyak sekali ragamnya

6. Di Bandung penduduknya padat sekali, rumah berdempetan, jalanan kecil. Keluar gang, kita akan menjumpai jalanan besar padat dipenuhi motor, angkot, dan mobil pribadi. Mau menyeberang saja sering takut. Aku biasanya pakai fasilitas zebra cross di perempatan jalan, supaya lebih aman saat menyeberang. Kalau naik mobil, kami biasa pakai Google Map. Aku dapat tugas jadi navigator. Baru sebentar sudah belok, ke kanan, ke kiri. Jadi gak bisa nyambi baca WA atau main FB.

7. Di Bandung angkot cenderung sepi, karena harus bersaing dengan Gojek dan Grab. Kadang sendirian saja naik angkot. Ini tidak menyenangkan, karena sopirnya sering ngetem, jadi lama sampai ke kampus. Padahal sudah buru-buru. Jadi aku sering mendoakan sopir angkot supaya banyak penumpangnya. Sama-sama untung kan. Tapi mereka kalau nyetir sering ngebut dan gak smooth, kayak orang baru belajar nyetir gitu. Kadang sering takut kalau kecelakaan. Jadinya banyak-banyak dzikir gitu di dalam angkot. Perjalanan naik angkot ini juga lama, jadi bisa sambil main HP.

8.Di Bandung rumahnya bagus-bagus sehingga enak dilihat. Si bungsu yang calon arsitek dan seniman senang melihat-lihat rumah-rumah yang bagus tersebut

9. Di Bandung banyak event-event dan tempat wisata yang bisa dikunjungi

10. Di Bandung jalanan sering macet. Beda sekali dengan di Batam yang lancar jaya.

 

Naik Motor?

Sekolah si bungsu yang baru letaknya agak jauh dari rumah. Jalannya juga berliku-liku. Yang paling berat ada jalanan menanjak sekitar 200 m. Kalau naik motor, 5 menit sampai. Kalau jalan kaki sekitar 15 menit dengan jalan santai. Kalau jalan cepat bisa 10 menit sampai. Si bungsu pengin dibeliin motor, jadi penginnya antar jemputnya naik motor. Tapi setelah dipikir-pikir, kalau naik motor, berarti si bungsu, emak, dan bapaknya kehilangan kesempatan olahraga 30 menit per hari. Di posisi sekarang, tanpa motor, mau gak mau terpaksa jalan, terpaksa bergerak, jadinya olahraga. Apalagi kalau menjemputnya telat karena asyik main komputer, terpaksa jalan cepat. Si bungsu juga harus ditrigger pertumbuhan badannya dengan olahraga, supaya cepat tumbuh tinggi.

Kami kadang jalan kaki sambil mengggandeng tangan tangan lembutnya. Kapan lagi ya bisa gandengan tangan seperti itu ya? Kalau di jalan yang sepi aku sering membantunya menghafal perkalian 1 s.d 100. Kami kadang jajan bentar beli es krim kesukaannya.

Di pertengahan Juli 2018 lalu, saat dia mulai sekolah, kami juga merasa berat melewati jalan tersebut. Maklum jarang olahraga. Di Batam, jarang bergerak, lebih mengandalkan pakai kendaraan untuk pergi ke mana-mana. Saat itu, kami juga sedang persiapan ibadah haji. Jadi harus berolahraga untuk meningkatkan stamina. Alhamdulilah, dapat kesempatan dua minggu sebelum aku berangkat ke Saudi Arabia. Ternyata saat tawaf, Sai, dan melempar jumroh, tuntutan jalan kakinya lebih luar biasa. Tapi alhamdulilah, bisa dijalani juga dengan susah payah. Ternyata ada manfaatnya ya.

Eh nyambung ke aktifitas di Mekah, kami Tawaf dan Sai-nya pada malam hari, sekitar jam 10 malam atau 11 malam, bahkan pernah juga jam 03 dini hari. Pertama kali kaget banget mendengarnya, berharap tidak salah dengar. Memang begitulah kenyataannya. Masak aku yang belum tahu apa-apa, mau tawaf sendiri, tanpa rombongan? Ternyata waktu malam, sesudah shalat Isya’ adalah waktu yang paling ideal untuk atifitas tersebut.

Di umroh-umroh selanjutnya dan tawaf-sai lainnya, kami juga selalu melakukannya di malam hari, sehingga menjadi terbiasa untuk melekan. Hal itu memberi manfaat, saat menjadi navigator suami yang nyetir mobil dari Pati ke Bandung atau Bandung-Jakarta, jadi kuat melek, gak mengantuk lagi.